Agama Islam memberikan pengecualian untuk wanita menyusui di bulan
Ramadan. Mereka diperkenankan untuk tidak menjalankan ibadah puasa,
namun tetap harus menggantinya melalui dua cara, yaitu mengganti dengan
puasa di luar Ramadan atau membayar fidyah (barang penebus).
Dibolehkan
tidak berpuasa bukan berarti dilarang berpuasa. Tentu saja banyak juga
ibu menyusui yang memilih ikut menjalankan ibadah puasa selama Ramadan.
Namun apa pengaruhnya dari segi kesehatan?
Ahli gizi Christine
Natalie menyarankan sebaiknya tidak usah berpuasa jika ibu yang sedang
menyusui itu memang merasa tidak sehat atau terganggu. Ini demi kebaikan
ibu dan bayinya yang sedang disusui. “Tapi jika memang merasa sehat,
silakan berpuasa,” tuturnya.
Menurut dia, hingga saat ini belum
ada dampak negatif bagi seorang ibu yang menyusui saat menjalankan
puasa. Tentu saja sepanjang hal itu dijalankan dalam kondisi tidak lemas
dan asupan tetap terjaga. “Sebab saat berpuasa komposisi zat gizi pada
ASI tidak akan berubah,” ujarnya.
Jika memang ibu yang sedang
menyusui tetap ingin berpuasa di saat Ramadan, Christine menyarankan
agar tetap makan tiga kali sehari. Yakni saat berbuka, selepas tarawih,
dan sahur. Selain itu, pola gizinya harus seimbang, dengan tetap
memperbanyak cairan yang masuk ke dalam tubuh. “Jangan lupa juga,
istirahat harus mencukupi,” lanjutnya.
Dia juga mengungkapkan
bahwa untuk menambah protein, sebaiknya saat makan ditambah dengan
suplemen berupa jus buah, susu, atau madu.
Di tempat terpisah,
Abas Jauhari, dosen di Universitas Islam Negeri menjelaskan, kondisi
kesehatan atau alasan medis bisa dijadikan illat (motif penetapan hukum)
diperbolehkannya ibu yang menyusui untuk tidak berpuasa. “Jadi agama
memang memperkenankan,” katanya.
Karena itu, kata dia, penilaian
kedokteran atau medis dalam hal puasanya ibu menyusui menjadi sangat
penting. Jika memang mengganggu atau bisa mendatangkan dampak buruk
terhadap kesehatannya maupun kesehatan bayinya, bisa jadi dasar tidak
berpuasa.
Kendati demikian, sesuai ajaran agama, puasanya harus
diganti di luar bulan Ramadan, seperti dilakukan oleh orang yang tidak
mampu menjalankan puasa akibat larangan lain.
Bisa juga, lanjut Abas
yang juga bekerja di Departemen Agama itu, diganti dengan membayar
fidyah. “Yakni memberi makan fakir miskin sebagai pengganti tidak
berpuasa,” katanya.
Ketentuan minimumnya adalah dengan menghitung
jumlah puasa yang ditinggalkan. Jika satu hari, maka penebusnya
diberikan kepada satu fakir miskin. Begitu seterusnya.
Sedangkan
seberapa besar yang harus diberikan, katanya, soal fikih seperti ini
banyak perbedaan pendapat. “Bisa juga ukurannya sesuai dengan kebiasaan
atau selayaknya yang kita makan. Jangan dikurangi,” ungkapnya.
Abas
menjelaskan, cara membayar fidyah ini bisa dilakukan setiap hari selama
bulan Ramadan selepas waktu berbuka, bisa juga dikumpulkan di satu hari
usai Ramadan. Agama juga memperkenankan memberikan makanan yang belum
dimasak, misalnya berupa beras serta lauk-pauknya.
Namun Abas
juga mengingatkan bahwa membayar fidyah tidak bisa digantikan dengan
uang dalam jumlah tertentu. Jadi bentuknya adalah kebutuhan pokok.
“Seandainya mau mengganti dengan puasa sebanyak yang ditinggalkan, itu
lebih baik,” katanya.
sumber :http://id.she.yahoo.com/ibu-menyusui--baiknya-berpuasa-atau-tidak-.html;_ylt=Avk1GabkNcczxb0C3o1twkXneeR_;_ylu=X3oDMTFpampxdW9nBG1pdANFZGl0b3IgUGljayBTaGUEcG9zAzUEc2VjA01lZGlhRWRpdG9yUGlja3NUZW1w;_ylv=3